Bibir Manado Tembus Mancanegara


Jerat Trafficking di Sulawesi Utara (1)

Laporan
Kardono Setyorakhmadi,
Hesty Sondakh, Max Tungka

PEREMPUAN Sulut, sejak dulu, sudah mencatat banyak prestasi yang membanggakan. Sebut saja Maria Walanda Maramis, pendiri sekolah Percintaan Ibu Kepada Anak Turun-temurun (PIKAT). Lalu Brigadir Jenderal Pol Jeane Mandagi, jenderal wanita pertama di Indonesia.
Ada lagi Tine Waworoentoe, Wali Kota Manado, perempuan pertama di Indonesia yang menduduki kursi walikota. Sementara Maria Thomas dan Anna Worouw tercatat sebagai dokter perempuan pertama di Indonesia.
Di luar itu ada ribuan perempuan Sulut yang mencatat prestasi gemilang di berbagai bidang. Entah di dunia pendidikan, kedokteran, politik, seni-budaya, diplomat, wirausaha, dan teknologi informasi. Namun, ada gurauan yang sering dilekatkan dengan perempuan Sulut. Katanya, tak lengkap ke Manado kalau belum menikmati tiga ”B”: Bunaken (taman laut), Bubur, dan Bibir Manado.
Gurauan ini keji memang, bertendensi merendahkan keelokan dan kecantikan perempuan Sulut yang sudah amat terkenal. Tapi, memang sudah bukan rahasia lagi, dalam dunia trafficking, gadis Sulut terbilang most desired alias paling dicari-cari. Bukan hanya di kota-kota lain di Indonesia, persebarannya pun telah mencapai mancanegara.
Menelusuri dan mencari angka pasti trafficking di Sulut bukanlah hal mudah. Bahkan, termasuk hal yang mustahil. Yang ada hanya kisah-kisah, sementara catatan dari polisi dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mungkin belum bisa menggambarkan betapa besarnya angka yang sebenarnya.
Ketika dilakukan penelusuran yang berliku dan melelahkan, angka yang didapat bisa dibilang sangat kecil. Tercatat hanya 57 kasus trafficking yang dapat diungkap polisi, plus 106 kasus yang diselesaikan LSM di Sulut.
Jumlah 163 kasus itu bukan dalam setahun, melainkan dalam lima tahun terakhir. Dari 163 kasus yang diungkap itu, tercatat ada 235 perempuan asal Sulut yang dapat ”diselamatkan.” Mereka dipulangkan dengan berbagai cara, termasuk dengan bantuan pemprov Sulut atau Pemkab/Pemkot daerah asal tempat tinggal.
Jumlah ini mungkin hanyalah pucuk gunung es. Jumlah aslinya bisa jauh lebih banyak. ”Kasus-kasus yang terjadi tapi tak sempat termonitor. Yang dilaporkan masih jauh lebih banyak,” tandas Narwasty Vike Karundeng, Koordinator Pusat Informasi Perlindungan Perempuan dan Anak (PIPPA) di Manado.
Vike, panggilan akrabnya, mengira-ngira angka aslinya bisa lebih dari 300-an kasus per tahun, melibatkan lebih dari 500-an korban. ”Mereka biasanya dijanjikan pekerjaan,” ujarnya.
Meski hanya pucuk dari gunung es, dari 163 kasus dan 235 perempuan itulah didapat kira-kira peredaran ”Bibir Manado” di Indonesia, plus di negara-negara lain. Persebarannya bisa dilihat di grafis. Mencapai 11 provinsi, mulai yang dekat di Sulawesi Selatan hingga Kepulauan Riau (Batam) dan Papua. Untuk luar negeri, tujuannya negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Menariknya, dari kasus yang terungkap, daerah yang paling banyak menjadi tujuan pengiriman perempuan Sulut adalah Papua dan Papua Barat. Selama lima tahun terakhir, polisi dan LSM memulangkan 53 perempuan asal Sulut yang telah dijebak menjadi pekerja seks komersial (PSK) dan lady escort di sana. Mulai Jayapura, Timika, Biak, hingga Sorong. Meski demikian, kenyataan sebenarnya mungkin bukan Papua yang terbanyak. Kata seorang muncikari kelas atas Manado yang tak mau disebut nama aslinya, Jakarta tetap menjadi jujukan utama.
”Banyak penerbangan Jakarta-Manado dengan harga relatif murah. Makanya, anak buah saya sering pergi pulang Jakarta-Manado,” ungkap sang muncikari dengan gaya kemayu tersebut.
SELALU GANTI WAJAH
Pelaku trafficking di Sulut bukanlah sebuah sindikat yang terdiri atas pria bertampang sangar, sadis, tega menyakiti, dan bersenjata. Bisa jadi, pelaku sindikat trafficking di Sulut adalah pasangan suami-istri yang baik, gadis-gadis cantik, atau para pria kemayu.
Tidak percaya? Simak saja kisah penjualan perawan seharga Rp50 juta yang diungkap Poltabes Manado pada pertengahan Februari lalu. Yang menjadi tersangka utama adalah Monita Wangkouw, perempuan Manado berusia 24 tahun yang sudah ”mapan” menjadi PSK di Jakarta. Dalam kasus itu, Monita yang tengah balik ke Manado dari Jakarta didatangi pasangan suami-istri, Cliff Supit dan Sicilia. Pasangan itu mengatakan kepada Monita, ada dua ABG putus asa yang menawarkan keperawanannya.
Kedua bocah yang masih duduk di kelas dua SMP itu kemudian dibawa ke Jakarta oleh ketiganya, lalu dijual. Rupanya, salah satu ABG berubah pikiran dan menolak. Ketika pulang ke Manado, dia melaporkan kejadian ini kepada polisi. ”Prosesnya memang sesederhana itu. Artinya, siapa pun bisa menjadi pelaku trafficking di Manado. Tak ada jaringan khusus. Tak ada sindikat tertentu,” kata Kasatreskrim Poltabes Manado Kompol Ribut Hari Wibowo.
Bukti lain, selama menjabat Kasatreskrim, Ribut mengaku tak pernah menangkap seseorang lebih dari sekali. ”Selalu berganti wajah,” tandasnya.
Tak jarang, yang menjadi pelaku trafficking adalah keluarga sendiri. Ini seperti yang dialami oleh Grace (bukan nama sebenarnya), perempuan 42 tahun warga Batukota, Manado. Dia kehilangan Mona (juga nama samaran), anak pertamanya yang masih berusia 15 tahun. Gadis kelas 3 SMP itu tewas pada 2005 dengan sebab yang tak pernah diketahui oleh Grace. Mona di-trafficking oleh tantenya sendiri ke Jayapura. ”Meski sudah selesai permasalahannya, tetap saja bila teringat, saya langsung menangis,” kenang Grace.
Kompol Ribut mengatakan, jarang sekali ditemui pelaku trafficking yang terdiri atas sebuah sindikat dengan organisasi rapi yang beranggota pria berwajah sangar. ”Karena modus yang paling sering dipakai adalah tipu daya,” urainya.
Ribut mengatakan, sindikat sebenarnya ada, tapi operasional utamanya justru bukan di Manado. ’’Kebanyakan yang mengendalikan justru para pemilik tempat hiburan di luar kota,’’ paparnya.
Para pemilik tempat hiburan itulah yang mengerahkan ”anak buah” senior dan tepercaya untuk merekrut perempuan, entah itu teman atau saudara sendiri. Begitu didapat, setelah perempuan itu sampai di tempat tujuan, sindikat dengan pria sangar muncul untuk menjaga ”anak baru” supaya tidak kabur.
’’Sindikatnya menunggu, namun yang bergerak merekrut dan mengirim justru orang-orang yang sulit untuk dicurigai,’’ kata mantan Kapolsek Wonokromo dan Rungkut di Surabaya tersebut.
Hal seperti inilah yang membuat polisi kesulitan mengungkap sindikat trafficking. ”Kami harus benar-benar turun dan melakukan penyamaran dulu. Laporan yang masuk sangat sedikit,” ucap Direskrim Polda Sulut Kombespol Remedius Sigit Triharjanto.
Padahal, imbuh mantan Kasatreskrim Polwiltabes Surabaya tersebut, ”bau” trafficking di Sulut sangat terasa. ’’Tapi, tentu saja bila kami harus menindak, bukti-bukti awal pidananya sudah harus sangat kuat,’’ tegasnya

Posted in Tokoh & Pristiwa

Leave a comment

Categories
SEO MONITOR
Blog Stats
  • 520,856 hits

Masukkan alamat surat elektronik Anda untuk mengikuti blog ini dan menerima pemberitahuan tentang tulisan baru melalui surat elektronik.

Join 4 other subscribers