Penulis : Mario Aristo
SEDIKITNYA 300 ribu mahasiswa dan 850 ribu siswa Indonesia lulus dari berbagai institusi pendidikan setiap tahunnya dan seharusnya siap memasuki lapangan kerja. Sayangnya,sebagian besar dari mereka diperkirakan masih akan menganggur akibat tidak dapat memenuhi kebutuhan industri.
“Hal tersebut salah satunya dikarenakan oleh rendahnya soft-skill atau ketrampilan di luar kemampuan utama para lulusan sehingga hanya semakin menambah total 900 ribu sarjana yang kini masih menganggur,” ujar Direktur Jenderal Dinas Pendidikan Tinggi (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional (DEPDIKNAS) Fasli Djalal di Jakarta, akhir pekan lalu.
Fasli menyatakan bahwa inti dari permasalahan tersebut saat ini adalah tidak bertemunya apa yang dimiliki calon tenaga kerja dengan apa yang diinginkan industri.
“Sebagian besar calon tenaga kerja lulusan dari 2.900 institusi pendidikan maupun perguruan tinggi di Indonesia selama ini sebetulnya hanya baru siap untuk beradaptasi dengan para industri namun belum siap untuk bekerja. Belum terjadi link-and-match antara institusi pendidikan dan industri,” tutur Djalal.
Hal tersebut terjadi karena para calon tenaga kerja bahkan yang lulusan terbaik perguruan tinggi dalam negeri sekalipun masih hanya kuat di core competency mereka saja. Sedangkan industri industri memilih menerima mereka yang telah memiliki ketrampilan tambahan yang relevan dengan kemajuan teknologi saat ini.
Salah satu solusinya adalah biarkan perguruan tinggi untuk tetap melaksanakan tugasnya memperkuat core competency para tenaga kerja, sedangkan pemerintah bekerja sama dengan industri mempersiapkan berbagai pelatihan yang tepat guna. Pelatihan-pelatihan tersebut diharapkan benar-benar membuat para calon tenaga kerja siap bekerja di industri-industri.
Hal itu diyakini akan lebif efektif, karena Djalal yakin akan sulit bagi perguruan tinggi untuk sering mengubah kurikulumnya menyesuaikan kemajuan teknologi yang diharapkan industri.
“Untuk memungkinkan hal itu terjadi, memang pemerintahlah yang mungkin harus memberikan berbagai subsidi kepada industri untuk bersama-sama membuat program-program yang mencetak lulusan perguruan tinggi siap kerja,” ujar Djalal.
Senada dengan Djalal, komisaris utama Indosat, Rachmat Gobel juga menyatakan pentingnya keberadaan program-program yang mencetak calon-calon tenaga kerja untuk lebih siap produktif dan dapat diserap industri.
“Namun selain itu, cobalah kini untuk berpikir tidak selalu untuk mencetak tenaga kerja, melainkan mencetak seorang entrepreneur yang dapat membuka lapangan kerja. Saran saya masukan entrepreneurship atau kewirausahaan ke kurikulum Indonesia,” ujar Rachmat yang juga menekankan pentingnya bangsa Indonesia untuk menghargai hak cipta untuk mempertahankan kekreativitasan bangsa sehingga akan mendorong munculnya berbagai industri kreatif. (*/OL-02)
Leave a Reply